Kata cipanas berasal dari bahasa Sunda; ci atau cai artinya air, dan panas yaitu
panas dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut menjadi nama sebuah desa, yakni Desa
Cipanas karena di tempat ini terdapat sumber air panas yang mengandung belerang.
Istana Kepresidenan Cipanas bermula dari sebuah bangunan yang didirikan pada
tahun 1740 oleh pemiliknya pribadi, seorang tuan tanah Belanda bernama Van Heots.
Namun pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, tepatnya mulai pemerintahan
Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff (1743), karena daya tarik sumber air
panasnya, dibangun sebuah gedung kesehatan di sekitar sumber air panas tersebut.
Kemudian, karena kharisma udara pegunungan yang sejuk serta alamnya yang bersih
dan segar, bangunan itu sempat dijadikan tempat peristirahatan para Gubernur
Jenderal Belanda.
Sejak didirikannya pada masa pemerintahan Belanda, Istana Kepresidenan
Cipanas difungsikan sebagai tempat peristirahatan dan persinggahan. Akan tetapi
sekeliling alamnya yang amat indah menjadi daya tarik tersendiri bagi para
pengunjungnya, sehingga pada masa pemerintahan van Imhoff itu, tempat
persinggahan/peristirahatan sempat beralih fungsi. Karena kekuatan sumber air
panas yang mengandung belerang itu dan karena udara pegunungan yang sejuk dan
bersih, tempat ini pernah dijadikan gedung pengobatan bagi anggota militer
Kompeni yang perlu mendapat perawatan.
Komisaris Jenderal Leonard Pietr Josef du Bus de Gisignies, misalnya,
tercatat yang paling senang mandi air belerang itu. Demikian pula halnya dengan
Carel Sirardus Willem Graaf van Hogendorp, sekretarisnya (1820-1841). Selain itu
Herman Willem Daendeles (1808-1811) dan Thomas Stanford Raffles (1811-1816) pada
masa dinasnya menempatkan beberapa ratus orang di tempat tersebut; sebagian
basar dari mereka bekerja di kebun apel dan kebun bunga serta di penggilingan
padi, di samping yang mengurus sapi, biri - biri, dan kuda.
Secara fisik, sejak berdirinya hingga kini, perjalanan riwayat Istana Cipanas
banyak berubah. Secara bertahap, dari tahun ke tahun, istana ini bertambah dan
bertambah. Mulai dari tahun 1916, masih pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
tiga buah bangunan berdiri di dalam kompleks istana ini. Kini ketiganya dikenal
dengan nama Paviliun Yudhistira, Paviliun Bima, dan Paviliun Arjuna.
Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1954 di masa dinas Presiden I
Republik Indonesia, Soekarno, didirikan sebuah bangunan mungil, terletak di
sebelah belakang Gedung Induk. Berbeda dari gedung-gedung lainnya, sekeliling
dinding tembok luar serta pelataran depan dan samping bangunan ini berhiaskan
batu berbentuk bentol. Dengan mengambil bentuk hiasan tembok serta pelatarannya
itulah, nama gedung ini terdengar unik, yaitu Gedung Bentol. (Bentol dari bahasa
sunda; padanannya dalam bahasa Indonesia bentol juga, seperti bekas gigitan
nyamuk).
Dua puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1983, semasa Presiden
II Republik Indonesia, Soeharto, dua buah paviliun lainnya menyusul berdiri,
yaitu Paviliun Nakula dan Paviliun Sadewa.
Istana Kepresidenan Cipans juga pernah difungsikan sebagai tempat tinggal
keluarga oleh beberapa keluarga Gubernur Jenderal Belanda. Yang pernah menghuni
bangunan itu adalah keluarga Andrias Cornelis de Graaf (yang masa
pemerintahannya 1926 -1931), Bonifacius Cornelius de Jonge (1931), dan yang
terakhir, yang bersamaan dengan datangnya masa pendudukan Jepang (1942), adalah
Tjarda van Starkenborg Stachourwer.
Setelah kemerdekaan Indonesia, secara resmi gedung tersebut ditetapkan
sebagai salah satu Istana Kepresidenan Republik Indonesia dan fungsinya tetap
digunakan sebagai tempat peristirahatan Presiden atau Wakil Presiden Republik
Indonesia beserta keluarganya.
Istana Kepresidenan Cipanas ini juga mencatat peristiwa penting dalam sejarah
garis haluan perekonomian Indonesia, yaitu bahwa pada tanggal 13 Desember 1965,
Ruang Makan Gedung Induk, pernah difungsikan sebagai tempat kabinet bersidang
dalam rangka penetapan perubahan nilai uang dari Rp1.000,00 menjadi Rp1,00,
tepatnya pada masa Presiden Republik Indonesia Soekarno dan pada waktu Menteri
Keuangan dijabat oleh Frans Seda.
Sesuai dengan fungsi Istana Kepresidenan Cipanas, tidak digunakan untuk
menerima tamu negara. Namun, pada tahun 1971, Ratu Yuliana pun meluangkan
waktunya untuk singgah di istana ini ketika berkunjung ke Indonesia.
(Istana Kepresidenan RI, Sekretariat Presiden RI, 2004)
Sumber :
presidenri.go.id